Halaman

Minggu, 03 November 2013

Dakwah Salafiyah, Adalah Dakwah Ahlus Sunnah

Dakwah Salaf bukanlah dakwah yang baru. Tetapi ia adalah dakwah Ahlus Sunnah. Yaitu dakwah haq yang dilakukan para sahabat. Dakwah Salaf mengajak ummat Islam berpegang kepada Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengajak ummat untuk kembali kepada al-Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shalih.

Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan beberapa istilah dan definisi Salaf, Ahlus Sunnah dan lainnya. Penulis juga akan menjelaskan beberapa prinsip Ahlus Sunnah dalam berdakwah di jalan Allah. Mudah-mudahan upaya penulisan ini bermanfaat.

DEFINISI SALAF (السَّلَفُ)
Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya, yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama.[1] Jadi, Salaf artinya ialah para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[2]

Adapun menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini. Mereka adalah para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’ut-tabi’in). [3]

Menurut al Qalsyani: “Salafush-Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini, yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya...”[4]

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al ‘Aqiidatul-Islamiyyah Bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk, Pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya (perilaku) menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi, meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi al-Qur`an dan as-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in".[5]

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara yang baru atau bid’ah. Akan tetapi, penisbatan ini adalah syar’i, karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah disebut juga as Salafiyyuun, karena mereka mengikuti manhaj Salafush-Shalih dari sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka, serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, maka mereka itu disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf.

Jadi, Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang. Tetapi, Salaf adalah manhaj. Yaitu sistem hidup dalam ber‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya, yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat g sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.[6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf. Bahkan (ia) wajib menerima yang demikian itu, karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran”.[7]

DEFINISI AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah, mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu anhum .

As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah, jalan atau cara, apakah jalan itu baik atau buruk.[8]

Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), as-Sunnah adalah petunjuk yang telah ditujukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Demikian inilah as-Sunnah yang wajib diikuti. Orang yang mengikutinya akan dipuji, dan orang yang menyalahinya akan dicela.[9]

Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus, berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al Bashri (wafat th. 110 H), Imam al Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H)”.[10]

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran. Tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para imam (yang berpegang kepada) al haq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful-Ummah.[11]

Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah, generasi pertama dari ummat ini. Yaitu kalangan sahabat, tabi’ut tabi’in, serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. [12]

Imam Abu Syammah asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah, berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya; meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyelisihinya banyak. Karena kebenaran itu ialah, apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang diamalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka”.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu :

اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ.

Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran, walaupun engkau sendirian. [13]

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah, orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam masalah agama.

Karena mereka, orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka itu juga disebut dengan Ahlul-Hadits, Ahlul-Atsar dan Ahlul-Ittiba’. Di samping itu, mereka juga disebut sebagai ath-Thaa-ifatul-Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun-Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa` (orang asing).

Tentang ath-Thaa-ifatul-Manshuurah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَتَزَالُ مِنْ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ.

Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah Allah; tidak akan mencelakai mereka, orang yang tidak menolong mereka dan orang yang menyelisihi mereka, sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.[14]

Tentang al-Ghurabaa`, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْباً، وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْباً، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ.

Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya; maka beruntunglah bagi al-Ghurabaa` (orang-orang asing). [15]

Sedangkan makna al-Ghurabaa` ialah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma ; ketika suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa`, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ فِيْ أُنَاسِ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ.

Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek; orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.[16]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa`:

اَلَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ.

Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.[17]

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

...الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي.

Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sepeninggalku sesudah dirusak oleh manusia.[18]

Ahlus-Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun-Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan ini sudah masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf. Karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash, dan sesuai dengan kondisi serta kenyataan yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para imam, seperti ‘Abdullah Ibnul Mubarak, ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya rahimahullah.[19]

Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam; mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita, dan wajib bagi kita berterima kasih atas usaha mereka”.[20]

Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ash-haabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.”[21]

SEJARAH MUNCULNYA ISTILAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini, sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in.
Ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla.

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

(Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu. –(Ali ‘Imran/3 ayat 106), ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Adapun orang yang putih wajahnya, mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah; sedangkan orang yang hitam wajahnya, mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat".[22]

Kemudian, istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf rahimahullah, di antaranya:

1. Ayyub as Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku diberitahu tentang meninggalnya seseorang dari Ahlus Sunnah, (maka) seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku”.

2. Sufyan ats-Tsauriy rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus-Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-Ghurabaa`. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”[23]

3. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah (wafat th. 187 H) berkata: “...Berkata Ahlus Sunnah: 'Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan'.”

4. Abu ‘Ubaid al Qasim bin Sallam rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan:[24] “...Maka sesungguhnya, apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman, dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”

5. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, as-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, semenjak dari zaman para sahabat hingga pada masa sekarang ini...”

6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “...Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat; maka itu merupakan agama, yang kami beragama dengannya. Dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa, penghuni surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[25]

7. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah): “...Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah, agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar, dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.

MANHAJ DAKWAH AHLUS-SUNNAH
Yang dimaksud dengan dakwah (mengajak manusia ke jalan Allah), yaitu mengajak manusia untuk beriman kepada Allah, mengimani apa yang dibawa para rasul-Nya, membenarkan apa yang mereka kabarkan kepada manusia, mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa pada bulan Ramadhan, haji ke Baitullah, mengajak manusia untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, beriman kepada hari Akhir (dibangkitkannya manusia sesudah mati), iman kepada Qadar yang baik dan buruk, dan mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah saja seolah-olah ia melihat-Nya.[26]

Jadi, yang dikatakan dakwah adalah mengajak manusia kepada Rukun Islam, Rukun Iman, dan melaksanakan syari’at Islam, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah, melarang manusia dari perbuatan syirik, mengajak umat untuk ittiba’ (meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan melarang berbuat bid’ah. Mengajak manusia ke jalan yang benar, agar manusia selamat di dunia dan di akhirat, yakni dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu anhum.

Dakwah di jalan Allah merupakan sebesar-besar ketaatan kepada Allah. Dan perkataan yang paling baik adalah mengajak manusia ke jalan Allah dan beramal shalih.

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. [Fushshilat/41:33].

A. Dakwah Yang Haq Harus Dengan Bekal Ilmu Syar’i
Sesungguhnya orang yang memperhatikan perjalanan para ulama Ahli Hadits pada masa-masa yang telah lewat, ia akan melihat bahwa para ulama Ahli Hadits telah mengikuti metode yang sama dalam berdakwah menuju Allah di atas cahaya dan bashirah (ilmu dan keyakinan).

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak ada termasuk orang-orang yang musyrik”.[Yusuf/12:108].

Yaitu meliputi metode ilmu, belajar dan mengajar. Karena sesungguhnya, apabila dakwah menuju Allah merupakan kedudukan yang paling mulia dan utama bagi seorang hamba, maka hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan ilmu. Dengan ilmu, seseorang dapat berdakwah, dan kepada ilmu pula ia berdakwah. Bahkan demi sempurnanya dakwah, ilmu itu harus dicapai sampai batas usaha yang maksimal.[27]

Syarat seseorang berdakwah harus berilmu dan faham tentang ilmu syar’i, yang dengan ilmunya tersebut, ia dapat mengajak ummat kepada agama Islam yang benar. Metode ilmiah ini dibangun di atas tiga dasar.[28] Pertama, al ‘Ilmu. Yaitu mengetahui al haq (kebenaran). Kedua, dakwah menuju al haq (mengajak manusia kepada kebenaran). Ketiga, teguh dan istiqamah di atas kebenaran.[29]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا

Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. [al Fath/48:28].

Yang dimaksud dengan الْهُدَى (petunjuk) ialah ilmu yang bermanfaat, dan دِيْنُ الْحَقِّ (agama yang benar) ialah amal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’alamengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk menjelaskan kebenaran dari kebathilan, menjelaskan tentang nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, memerintahkan semua yang bermanfaat untuk hati, ruh dan jasad. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencintai-Nya, berakhlak dengan akhlak yang mulia, beramal shalih, beradab dengan adab yang bermanfaat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perbuatan syirik, perilaku dan akhlak buruk yang berbahaya untuk hati dan badan, dunia dan akhirat.[30]

B. Ahlus-Sunnah Berdakwah (Mengajak Manusia) ke Jalan Allah Dengan Hikmah
[31]
Firman Allah al Hakiim:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabb-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [an-Nahl/16: 125]

Ayat yang mulia di atas merupakan asas yang mengajarkan jalan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mengajarkan kepada para da'i, jalan dalam berdakwah. Karena sesungguhnya, Allah telah mensyari’atkan kepada para hamba-Nya melalui Kitab-Nya yang Dia turunkan, dan dengan penjelasan Rasul-Nya n dalam perkara-perkara yang dapat memberikan penerangan untuk akal mereka, kesucian jiwa dan kelurusan perbuatan mereka.

Allah telah menamakan (syari’at itu) dengan sabil (jalan), supaya mereka tetap konsisten dalam seluruh fase perjalanan dalam menempuh kehidupan ini; sehingga dapat mengantarkan kepada puncak yang dituju, yaitu kebahagiaan abadi di akhirat. Dan Dia merangkaikan sabil (jalan) itu dengan Diri-Nya, sehingga disebut sabilillaah (di jalan Allah), supaya para hamba mengetahui, Dia-lah yang telah membuatnya, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat mengantarkan menuju ridha-Nya selain jalan Allah.

Ayat di atas, pada asalnya merupakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ditujukan kepada Nabi pilihan-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk berdakwah menuju jalan Rabb-nya. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al Amiin (yang dapat dipercaya) dan al Ma’shum (yang terjaga dari dosa), sehingga, tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu di antara jalan Rabb-nya, kecuali beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendakwahkannya. Dengan demikian kita mengetahui, apa saja yang tidak diserukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu bukan termasuk jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga kita pun mendapatkan petunjuk tentang perbedaan antara al haq dengan al bathil, petunjuk dengan kesesatan, serta antara da’i-da’i Allah dengan da’i-da’i setan.

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyeru kepada apa yang diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti ia termasuk da’i-da’i Allah, yang menyeru kepada al haq dan hidayah.[32] Dan barangsiapa yang menyeru kepada apa yang tidak diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia termasuk da’i-da’i setan, yang menyeru kepada kebathilan dan kesesatan. Sehingga, seorang muslim yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ia akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mendakwahkan setiap yang ia ketahui dari jalan Rabb-nya. Dan jika setiap individu dari kalangan kaum Muslimin menjalankan dakwah ini sesuai dengan kemampuannya, maka akan teranglah jalan Allah bagi orang-orang yang menempuhnya, ilmu akan tersebar di kalangan kaum Muslimin. Adapun jalan-jalan kebathilan, akan sepi dari da’i-da’i setan.[33]

Kewajiban terbesar yang wajib ditempuh oleh para da’i, ustadz dan ulama, yaitu meniti manhaj para nabi dalam berdakwah menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berdasarkan tinjauan dari sudut agama dan akal, maka seorang da’i tidak boleh menyimpang dari manhaj dakwah anbiyaa’, lalu memilih manhaj dakwah yang lain, karena:

1. Manhaj anbiyaa’ (para nabi) adalah jalan paling lurus yang ditetapkan Allah kepada seluruh nabi, dari yang pertama sampai terakhir.

2. Sesungguhnya para nabi benar-benar telah berpegang teguh dan mempraktekkan manhaj tersebut. Hal itu jelas menunjukkan kepada kita, bahwa masalah manhaj bukan termasuk masalah ijtihad (bukan berasal dari pemikiran).

3. Allah telah mewajibkan kepada Rasul-Nya yang mulia n untuk meneladani dan menempuh manhaj para nabi tersebut, dan kita wajib mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Karena kesempurnaan konsep dakwah para nabi tergambar dalam dakwah Nabi Ibrahim Alaihissallam , maka Allah memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengikuti manhaj Nabi Ibrahim Alaihissallam. Allah Subhanahu wa Ta’alajuga memerintahkan umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengikuti agama Nabi Ibrahim Alaihissallam yang hanif.[34]

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisaa`/4: 59].
Jika kita kembali kepada al Qur`an, sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kita, bahwa ‘aqidah seluruh rasul adalah tauhid. Adapun dakwah mereka, dimulai dengan tauhidullah, dan tauhid merupakan perkara terpenting dan terbesar yang mereka dakwahkan.

5. Allah telah menciptakan alam ini, menyusunnya dengan sangat rapi, dan menjadikan ketetapan-ketetapan bagi alam ini. Seandainya ketetapan-ketetapan alam itu berbeda-beda, niscaya rusaklah alam ini. Begitu juga dalam hal syari’at, ia tidaklah tegak kecuali di atas ‘aqidah yang haq. Jika syari’at telah lepas dari ‘aqidah, maka rusaklah syari’at tersebut, sehingga tidak lagi sebagai syari’at yang benar.

Jelaslah, bahwa hubungan ‘aqidah tauhid terhadap seluruh syari’at para nabi (termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), bagaikan pondasi sebuah bangunan dan bagaikan ruh bagi badan. Jasad tidak akan berdiri dan hidup, kecuali dengan adanya ruh.

Untuk menambah kepahaman kita terhadap Sunnatullah yang disyari’atkan-Nya, berikut kami bawakan tiga contoh. Bahwa pengaturan dan ketertiban dalam syari'at-Nya merupakan perkara yang dijadikan tujuan, sehingga wajib diikuti dan tidak boleh menyimpang dari hal-hal berikut:

1. Shalat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan shalat kepada kita dengan perbuatan yang nyata. Andaikan ada sekelompok orang yang mengubah tata-cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka apakah shalatnya itu benar dan bersesuaian dengan syari'at Islam?

2. Haji.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengerjakan haji dan mengajarkan manusia tentang manasik haji. Maka jika ada jama’ah yang menghendaki adanya perubahan terkait dengan manasik haji, maka apakah hajinya tersebut dibenarkan oleh Islam atau justru merusak ibadah haji?

3. Dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ini yang terpenting).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan tauhid, dan demikian pula seluruh rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): "Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu, maka di antara ummat itu ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). [an-Nahl/16:36]. [35]

Di antara contohnya, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ketika diutus ke Yaman. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ (وَفِي طَرِيْقٍ: فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللهِ)، (وَفِي أُخْرَى: أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ) فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ (وَفِي رِوَايَةٍ: فَإِذَا عَرَفُوْا اللهَ)، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ لِذَلِكَ فَإِياَّكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ.
Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. (Pada lafazh lainnya: Maka yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah semata). (Juga lafazh lainnya: Supaya mereka menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi). Apabila mereka mentaatimu karena yang demikian itu (dalam suatu riwayat: Apabila mereka telah mentauhidkan Allah), maka beritahukanlah kepada mereka, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka, sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah yang diambil dari orang-orang yang kaya di antara mereka, lalu dibagikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka jauhilah olehmu harta-harta mereka yang baik, dan takutlah kamu terhadap do’a orang yang dizhalimi, karena tidak ada hijab antara do’a orang yang dizhalimi dengan Allah.[36]

Kita faham, mengikuti ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berkaitan dengan syari’at dan aturannya yang detail dalam peribadatan serta perinciannya adalah wajib, tetapi kenapa kita tidak memahami ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan aturan-Nya yang detail dalam masalah dakwah? Padahal para nabi, semuanya meniti jalan yang satu. Kita tidak boleh berpaling dari manhaj dakwah yang dicontohkan oleh para nabi, dan tidak boleh menyelisihinya. Sebab, apabila menyalahi menhaj dakwah para nabi, akan berakibat sangat fatal. Para da’i wajib menggunakan kembali akal mereka dan mengubah sikap mereka.

Kemudian apakah ummat Islam (khususnya para da’i) mengambil manfaat dari manhaj yang agung ini dalam memberikan perhatian tentang masalah-masalah tauhid dan menjadikannya sebagai titik tolak dakwah mereka? Jawabannya, sesungguhnya sebagian besar da’i dan ustadz telah menyimpang jauh dari manhaj para nabi dalam berdakwah, sehingga umat Islam mengalami kondisi yang menyedihkan dan pahit, akibat kekeliruan dari dakwah yang mereka lakukan.

Sesungguhnya banyak di antara ummat Islam (termasuk da’i, kyai dan pemikirnya, Pen.) jahil terhadap manhaj ini, dan sebagian lagi pura-pura bodoh. Mereka dihalang-halangi oleh setan dari manhaj yang haq ini, kemudian mereka membuat manhaj-manhaj yang menyelisihi manhaj dakwah para nabi. Hal ini menjerumuskan mereka dan menyebabkan mereka tertimpa bencana di dalam agama dan dunianya.[37]

(Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lisaanul ‘Arab (VI/331), Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) rahimahullah.
[2]. Lihat al Mufassiruun Bainat-Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish-Shifaat (I/11) karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdurrahman al Maghrawi, Muassasah ar-Risalah, th. 1420 H.
[3]. Muttafaqun ‘alaih. (HR al Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 (212), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu.
[4]. Al Mufassiruun Bainat-Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish-Shifaat (I/11).
[5]. Al Mufassiruun Bainat-Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish-Shifaat (I/13-14) dan al Wajiiz fii ‘Aqiidah Salafush-Shaalih, hlm. 34.
[6]. Dinukil dari Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa' wal Bida’ (I/63-64), karya Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili; Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajis-Salaf karya Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali, hlm. 21 dan Mujmal Ushuul Ahlis-Sunnah wal Jamaa’ah fil- ‘Aqiidah.
[7]. Majmu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (IV/149).
[8]. Lisaanul ‘Arab (VI/399).
[9]. Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis-Sunnah, hlm. 16.
[10]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, oleh Ibnu Rajab, hlm. 495, tahqiq dan ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, Cet. II, Th. 1420 H, Daar Ibnul Jauziy.
[11]. Mujmal Ushuul Ahlis-Sunnah wal Jamaa’ah fil-‘Aqiidah.
[12]. Syarhul-‘Aqiidah al Waasithiyyah, oleh Khalil Hirras, hlm. 61.
[13]. Al Baa’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal Hawaadits, hlm. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dan Syarah Ushuulil I’tiqaad, karya al Lalika-i, no. 160.
[14]. HR al Bukhari, no. 3641 dan Muslim, no. 1037 (174), dari Mu’awiyah Radhiyallahu anhu.
[15]. HR Muslim no. 145, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[16]. HR Ahmad (II/177, 222), Ibnu Wadhdhah no. 168. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (VI/207 no. 6650). Lihat juga Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas-Salaf, hlm. 125.
[17]. HR Abu Ja’far ath Thahawi dalam Syarah Musykilil Aatsaar (II/170 no. 689), al Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis-Sunnah no. 173, dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu. Hadits ini shahih li ghairihi, karena ada beberapa syawahidnya. Lihat Syarah Musykilil Aatsaar (II/170-171) dan Silsilatul- Ahaadiits ash-Shahiihah no. 1273.
[18]. HR at Tirmidzi no. 2630. Beliau berkata,"Hadits ini hasan shahih." Dari Sahabat ‘Amr bin ‘Auf Radhiyallahu anhu.
[19]. Sunan at-Tirmidzi: Kitaabul Fitan no. 2229. Lihat Silsilatul-Ahaadiits ash-Shahiihah karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albaniy rahimahullah (I/539 no. 270) dan Ahlul-Hadiits Humuth-Thaa-ifah al-Manshuurah, karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al Madkhali.
[20]. Lihat Siyar A’laamin-Nubalaa’ (X/60).
[21]. Al Fishal fil-Milal wal Ahwaa’ wan-Nihal (II/271), Daarul Jiil, Beirut.
[22]. Lihat Tafsiir Ibni Katsiir (I/419, cet. Darus Salam), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal Jamaa’ah (I/79 no. 74).
[23]. Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal Jamaa’ah (I/71 no. 49 dan 50).
[24]. Tahqiq dan takhrij Syaikh al Albani rahimahullah.
[25]. Lihat kitab Shariihus-Sunnah oleh Imam ath Thabary rahimahullah.
[26]. Majmuu’ Fataawaa (XV/157-158) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[27]. Miftaah Daaris Sa’aadah (I/476), ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, Dar Ibni ‘Affan, Th. 1416 H.
[28]. At Tashfiyah wat-Tarbiyah wa Aatsaaruhuma fii Isti’naafil-Hayaatil-Islaamiyyah, oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid al-Halabi, hlm. 12.
[29]. Termasuk di dalam hal ini, membantah orang-orang yang menyelisihi al-haq, sebagaimana hal itu telah jelas.
[30]. Lihat Tafsiir Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil-Mannaan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as Sa’di t (wafat th. 1376 H) hlm. 295, Cet. Mu-assasah ar Risalah, Th. 1423 H, dan hlm. 339, Cet. Maktabah al Ma’arif.
[31]. Makna hikmah banyak sekali, begitu pula definisinya. Apabila kata hikmah disebutkan sesudah al Qur`an, artinya adalah as Sunnah. Adapun definisi hikmah adalah mencakupاْلإِصَابَةُ فِي اْلأَقْوَالِ وَاْلأَفْعَالِ، وَوَضْعِ كُلِّ شَيْءٍ فِي مَوْضِعِهِ (benar dalam berkata dan berbuat, dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya). Lihat al Hikmah fid-Da’wah Ilallaahi Ta’aala, karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al Qahthani, Cet. III, Th. 1417 H.
[32]. Ini yang dikatakan “hikmah” dalam dakwah, yaitu berdakwah mengikuti contoh Rasulullah n dalam mengajak manusia ke jalan Allah berdasarkan al Qur`an dan as Sunnah.
[33]. Ad-Durar al Ghaaliyah fii Aadabid-Da’wah wad-Daa’iyah, oleh al ‘Allamah Syaikh ‘Abdul Hamid Baadais (wafat th. 1359 H), ta’liq oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdil Hamid, Cet. Daarul Manaar, hlm. 25-27.
[34]. al Baqarah/2 ayat 130, Ali ‘Imran/3 ayat 68, 95, an Nisaa`/4 ayat 125, an Nahl/16 ayat 123.
[35]. Lihat juga QS al Anbiyaa'/21 ayat 25.
[36]. HR al Bukhari no. 1395, 1458, 1496, 4347, 7372 dan Muslim no. 19 (29).
[37]. Disadur secara ringkas dari Manhajul-Anbiyaa’ fid-Da’wah Ilallaah fiihil-Hikmah wal ‘Aql, oleh Dr. Rabi’ bin Hadi al Madkhaliy, hlm. 123-132 dan at-Tashfiyah wat-Tarbiyah wa Aatsaaruhuma fii Isti’naafil-Hayaatil-Islaamiyyah, oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan al Halabi al Atsari, hlm. 71-80.

1 komentar: