Halaman

Senin, 07 April 2014

Syarat-Syarat Wajib Zakat Mal

Tidak tersembunyi bahwa ada sebagian ummat Islam yang menerapkan zakat tanpa nishab dan haul pada kelompoknya. Sebesar apapun harta dan penghasilan mereka, mereka wajib mengeluarkan zakat. Rumah dizakati, tanah dizakati, kendaraan dizakati, bahkan setiap pergantian dzat barang juga dizakati. Mereka mendasari pengamalan ini dengan membawa ayat wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun (Al Baqarah 3) dengan mengambil 'jiwa zakat' (istilah mereka).
Sesuaikah apa yang mereka amalkan dengan apa yang diamalkan oleh Rasulullahi shalallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya? Melengkapi artikel kami sebelumnya Syarat-syarat Zakat, berikut kami ketengahkan tulisan Ustadz Kholid Syamhudi, Lc hafidhahullahu ta'alaa pada majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011, semoga bermanfaat!


Masa melaksanakan zakat fithri sudah lewat seiring dengan berlalunya bulan Ramadhan. Semoga Allâh Azza wa Jalla menerima amal ibadah yang kita lakukan pada bulan tersebut. Namun selain zakat Fithri, masih ada zakat lain yang harus dikerjakan oleh kaum Muslimin yang sudah memenuhi syarat yaitu zakat mal (zakat harta). Zakat ini berbeda dengan zakat fithri dari sisi waktu pelaksanaannya, karena zakat ini tidak terikat dengan waktu tertentu, artinya bisa dikerjakan di semua bulan asalkan syaratnya sudah terpenuhi. Lalu, apakah syarat-syarat yang harus terpenuhi itu? Para Ulama menetapkan lima syarat, yaitu :

1. Islam.
Zakat mal ini hanya diambil dari kaum Muslimin dan tidak diambil dan tidak diterima dari kaum kafir[1] , baik kafir harbi maupun kafir dzimmi; karena firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ

Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan. [at-Taubah/9:54].

Ini juga didukung oleh pesan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ke Yaman untuk mendakwahi mereka agar memeluk Islam terlebih dahulu. Jika sudah memeluk Islam, baru setelah itu, mereka diperintahkan untuk menunaikan zakat. Dengan demikian jelas bahwa Islam merupakan syarat wajib zakat. [lihat Hâsyiah Ibnu Qâsim atas Raudh al-Murbi’, 3/166].

2. Merdeka.
Zakat mal ini tidak dibebankan kepada hamba sahaya; karena ia tidak memiliki harta. Semua hartanya adalah harta majikan atau tuannya. Berdasarkan hadits Abdullah bin Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhuma, beliau berkata :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ : مَنِ ابْتَاعَ نَخْلاً بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ, وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْداً وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِيْ بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ

Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan maka buahnya milik penjual kecuali bila pembeli mensyaratkannya. Barangsiapa yang membeli budak yang memiliki harta maka hartanya milik penjual kecuali pembeli mensyaratkannya. [Muttafaqun ‘Alaihi].

Ini juga dikuatkan dengan pernyataan sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma :

لَيْسَ فِيْ مَالِ العَبْدِ زَكَاةٌ حَتَّى يُعْتَقَ

Tidak ada kewajiban zakat pada harta seorang budak sampai dia dimerdekakan.[2]

3. Memiliki Nishâb
Seorang Muslim yang merdeka wajib menunaikan zakat mal, apabila memiliki harta yang mencapai nishâb. Nishâb adalah ukuran standar (minimal) yang ditetapkan syariat untuk dikenai kewajiban zakat. Nishâb ini berbeda-beda sesuai dengan jenis harta.

Syarat ini disimpulkan dari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ ، وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقِيَّ صَدَقَةٌ

Tidak ada zakat (pada harta) yang tidak mencapai lima wasaq, juga pada harta yang tidak mencapai lima ekor onta, serta yang tidak mencapai lima auqiyah [Muttafaqun ‘alaihi]

Apabila seorang Muslim tidak memiliki harta yang mencapai nishâb maka tidak diwajibkan berzakat.

4. Harta itu menjadi miliknya secara penuh

Maksudnya, harta itu dimiliki secara penuh oleh seseorang[3] sehingga ia bebas mengelolanya dan tidak ada hubungan dengan hak orang lain.[4]

Dengan demikian, tidak ada kewajiban zakat pada harta seorang tuan yang masih dihutang atau belum diserahkan budaknya untuk membebaskan diri, karena harta ini masih belum menjadi milik tuan sepenuhnya.

Demikian juga tidak diwajibkan zakat pada harta wakaf yang tidak diberikan untuk individu tertentu, seperti wakaf harta untuk fakir miskin atau untuk masjid atau sekolahan. Sedangkan wakaf yang diserahkan untuk individu tertentu seperti wakaf untuk keluarga Fulan maka ia tetap kena kewajiban zakat selama memenuhi kreteria yang lainnya.[5]

5. Berlalu setahun lamanya
Syarat ini ditetapkan berdasarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Aku telah mendengar Rasûlullâh bersabda, "Tidak ada zakat pada harta sampai harta itu berlalu setahun lamanya [HR. Ibnu Mâjah rahimahullah , no. 1792 dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam shahih sunan Ibnu Mâjah 2/98].

Juga hadits Ali Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Diriwayatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, "Tidak ada zakat pada harta hingga harta itu berlalu setahun lamanya [HR Abu daud no. 1571 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Daud 1/346].

Demikian juga dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma berkata :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Rasûlullâh bersabda, "Barangsiapa memanfaatkan harta maka tidak ada zakat atasnya sampai harta itu berlalu setahun" [HR at-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunannya no. 631 dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi 1/348].

Maksudnya adalah tidak ada zakat pada harta sampai kepemilikannya terhadap harta itu berlalu selama dua belas bulan. Jika sudah berlalu setahun sejak awal masa kepemilikannya, maka dia wajib mengeluarkan dari zakat yang dimiliki tersebut.

Syarat ini hanya berlaku pada tiga jenis harta; yaitu hewan ternak yang digembalakan, emas dan perak (atsmân) dan zakat barang perdagangan.[6]

YANG TIDAK DISYARATKAN HAUL.
Dengan demikian ada beberapa harta zakat yang tidak disyaratkan sempurna setahun, yaitu:

a. al-Mu’asyar yaitu harta yang diwajibkan padanya 10 % atau 5 %. Ini zakat pada hasil pertanian dan perkebunan; karena zakat ini diwajibkan ketika panen walaupun belum sampai setahun. Ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ

Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); [al-‘An’âm/6:141].

b. Anak hewan ternak[7] karena haul (ukuran setahun) bagi anak-anak hewan ternak itu mengikuti hitungan haul induknya. Anak hewan ternak ini dihitung dalam zakat walaupun belum mencapai usia setahun apabila induknya telah mencapai nishab.

Contohnya seorang memiliki empat puluh ekor kambing. Lalu dalam setahun, masing-masing kambing tersebut melahirkan dua ekor kecuali seekor saja yang melahirkan tiga ekor. Dengan demikian, jumlah keseluruhannya adalah 121 ekor yang terdiri dari 40 ekor induk ditambah 81 ekor anak kambing. Berarti zakat yang harus dikeluarkan adalah dua ekor kambing, walaupun 81 kambing tersebut belum genap satu tahun.

Contoh lain : seorang memiliki 120 ekor kambing, seharusnya zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2 ekor kambing, namun sebulan sebelum sempurna haulnya, lahir 100 ekor kambing sehingga di akhir tahun (waktu sempurnanya haul) berjumlah 220 ekor. Dalam hal ini ia wajib mengeluarkan 3 ekor kambing walaupun yang 100 ekor belum mencapai usia setahun.

Apabila induk-induknya belum mencapai nishab, lalu induk-induk itu melahirkan anak-anaknya sehingga mencapai nishab. Saat mencapai nishâb itulah permulaan haulnya. Contohnya, seorang memiliki tiga puluh ekor kambing lalu kambing-kambing itu melahirkan sepuluh ekor, maka haul kambing-kambing tersebut dihitung sejak genap empat puluh ekor kambing.

c. Keuntungan perniagaan dari modal yang telah mencapai nishâb dan berlalu satu tahun. Seandainya, seorang memiliki uang mencapai nishâb dan digunakan untuk berdagang lalu mendapatkan keuntungan. Maka seluruh harta itu, modal dan keuntungannya terkena wajib zakat, meskipun keuntungannya belum mencapai setahun.

Contohnya, seorang memulai bisnis dengan modal 30 juta dibulan Muharram 1431 H , sementara nishâb untuk harta perniagaan adalah 85 gram emas dan harga emas 1 gramnya adalah Rp 350.000; sehingga 85 X 350.000 = 29.750.000. Kemudian di bulan Muharam tersebut, ia mendapat keuntungan Rp. 3.000.000; di bulan Shafar Rp. 2.000.000; dan seterusnya, sehingga di bulan Muharram 1432 H jumlah modal plus keuntungannya adalah Rp. 75.000.000; Maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 % dari Rp. 75.000.000; yaitu Rp. 1.875.000.

Apabila modalnya belum mencapai nishâb kemudian mendapatkan keuntungan sampai mencapai nishab, maka hitungan haulnya mulai dihitung sejak nishâb sempurna.

d. Rikâz atau harta karun adalah harta terpendam yang merupakan peninggalan jahiliyah atau zaman dahulu kala. Harta ini dikeluarkan zakatnya ketika barang itu ditemukan. Ini berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فِي الرِّكَازِ الْخُمُسَ

Pada harta karun ada zakat seperlima (20 %). [Muttafaqun ‘Alaihi].

Juga karena keberadaannya menyerupai buah-buahan dan biji-bijian yang keluar dari tanah. Sehingga diwajibkan ketika mendapatkannya

e. Tambang (al-mi’dan) yaitu semua yang dikeluarkan dari bumi berupa barang-barang selain tanah yang dibuat di dalam tanah dan bernilai, seperti besi, batu permata (al-yaqût), batu aqiq, aspal, minyak bumi dan lain-lainnya yang dinamakan barang tambang. Apabila seorang mendapatkan barang tambang itu dan mencapai nishab, maka wajib ditunaikan zakatnya secara langsung ketika mendapatkannya. Tidak dikeluarkan zakatnya sampai diolah dan dibersihkan. Zakatnya adalah 2,5 %.[9]

Imam al-Khiraqi menyatakan, "Apabila dikeluarkan dari bahan tambang berupa emas duapuluh mitsqâl atau perak sejumlah duaratus dirham atau senilai tersebut dari seng (zenk), timbal, kuningan atau selainnya dari yang digali (ekploitasi) dari dalam bumi, maka diwajibkan zakat diwaktunya.[10]

TERPUTUSNYA HAUL
Haul terputus atau dianggap gagal dengan sebab-sebab berikut:
1. Apabila nishâb berkurang ditengah-tengah tahun sebelum sempurna haul, maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing dan sebelum sempurna setahun berkurang seekor, maka ia tidak wajib menzakati sisanya. Karena adanya nishâb dalam setahun adalah syarat wajib zakat.

2. Apabila menjual sebagian dari nishabnya dengan syarat:
a. Pembayarnya tidak sejenis
b. Bukan karena takut terkena zakat
c. Harta tersebut bukan termasuk barang yang diperdagangkan.

Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka dia tidak diwajibkan zakat. Cotohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum sempurna setahun ia jual dua ekor kambing dengan uang seharga 2 juta Rupiah bukan karena takut mengeluarkan zakat. Juga kambing tersebut bukan disiapkan untuk diperdagangkan. Maka terputuslah haulnya.

3. Apabila harta yang sudah masuk nishâb diganti dengan jenis lain ditengah-tengah haul bukan untuk menghindari kewajiban zakat maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum setahun masa nishâb tersebut ia ganti dengan onta atau sapi. Maka haul zakatnya terputus dan mulai baru lagi dengan haul onta atau sapi itu dimulai pada hari pergantian bila onta dan sapi itu mencapai nishâb.

Namun bila ia menjual sebagian nishabnya dengan yang sejenis maka haulnya tidak terputus. Contohnya, seorang memiliki emas berupa kalung sebesar nishâb (85 gram) berjumlah 5 buah lalu dijual dua buah dan ditukar dengan gelang emas dan berat keseluruhannya masih 85 gram maka haul gelang emas tersebut ikut haul kalung emas. Sehingga bila ia memiliki emas senishab tersebut pada 1 Ramadhan 1431 H, lalu ia tukar dengan gelang tersebut pada tanggal 6 Rajab 1432 H. Maka tetap membayar zakatnya secara keseluruhan pada tanggal 1 Ramadhan 1432 H.

Memang dalam permasalahan pertukaran harta zakat yang sudah mencapai nishâb dengan harta zakat lainnya yang juga senishab baik pertukaran biasa atau jual beli ada perbedaan pendapat para Ulama. Perbedaan pendapat ini dapat dijelaskan berikut ini:

a. Apabila dijual atau ditukar dengan harta lain sejenis yang juga sudah mencapai nishâb atau lebih, maka haulnya dihitung berdasarkan nishâb yang pertama, sehingga tetap wajib dizakati apabila sempurna setahun (haul). Inilah pendapat imam Mâlik dan Ahmad. Pendapat ini sejalan dengan pendapat imam Abu Hînifah pada barang berharga (al-atsmaan). Sedangkan dalam komoditi perniagaan maka haulnya tidak terputus sama sekali dengan pertukaran dan jual beli.

b. Apabila harta zakat yang sudah mencapai nishâb ditukar atau dijual dengan harta zakat jenis lain yang juga sudah mencapai nishâb atau lebih, maka terputuslah perhitungan haul dari harta zakat pertama dan dimulai hitungan haul baru untuk harta zakat kedua; Kecuali pada emas dengan perak atau sebaliknya, ada dua riwayat dari madzhab Ahmad bin Hambal. Pendapat pertama menyatakan tidak terputus haulnya dan inilah yang dirâjihkan oleh penulis kitab Zâdul Mustaqni’, karena emas ddan perak adalah harta yang sama sehingga seperti satu harta. Pendapat kedua menyatakan haulnya terputus dan tidak disamakan antara emas dan perak, karena keduanya jenis yang berbeda sebagaimana disampaikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, jewawut dengan jewawut, gandum dengan gandum dan kurma dengan kurma serta garam dengan garam harus setara dan kontan. Apabila jenis-jenisnya berbeda maka juallah sesuka kalian dengan syarat kontan. [HR. Muslim, no. 1587].

Pendapat keduan ini dirâjihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/44.

c. Sedangkan imam asy-Syâfi’i rahimahullah berpendapat, haul satu harta yang telah mencapai nishâb tidak digabung dengan haul harta yang lain sama sekali. Beliau mendasarkan pendapatnya dengan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Tidak ada zakat dalam harta hingga berlalu setahun lamanya [HR. Ibnu Mâjah no. 1792 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 2/98].

Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qudâmah rahimahullah. Beliau rahimahullah mengatakan, "Pendapat kami adalah harta yang telah mencapai nishâb digabungkan dengan haul harta pertumbuhannya dalam hitungan Haul, sehingga haul penggantinya yang sejenis dibangun diatas haul tersebut, sama seperti komoditi perniagaan. Hadits ditas dikhususkan dengan pertumbuhan, hasil keuntungan dan barang komoditi perniagaan. Sehingga kita qiaskan (analogikan) permasalahan ini kepadanya.[12]

d. Ada satu riwayat dari imam Ahmad yang menyatakan apabila harta zakat yang telah mencapai nishab dijual atau ditukar dengan harta baru yang telah mencapai nishab, maka haul harta yang kedua melanjutkan perhitungan haul harta pertama secara mutlak, baik sejenis atau berlainan jenis. Pendapat ini dirâjihkan oleh syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata, "Yang benar adalah pendapat madzhab Imam Ahmad yang menyatakan bahwa pertukaran nishâb harta zakat dengan nishâb harta zakat lainnya tidak menghalangi kewajiban zakat dan tidak pula memotongnya, baik keduanya sejenis atau berlainan jenis. Pembedaan antara barang yang sejenis dan tidak sejenis tidak ada dalilnya. Hakekatnya adalah tidak ada perbedaan antara keduanya. Juga karena pendapat yang menyatakan memutus perhitungan haul apabila ditukar dengan harta zakat jenis lainnya mengakibatkan terbukanya pintu rekayasa untuk menghindari zakat.[13]

Adapun hitungan haul barang komoditi perniagaan maka tidak terputus haulnya dengan sebab pertukaran dan jual beli.[14]

Apabila ada keuntungan dalam perniagaan tersebut maka hitungan haul keuntungan dihitung dengan dasar hitungan haul modalnya. Demikian juga apabila terjadi kenaikan harga barang tersebut, maka zakatnya diwajibkan pada semua nilainya dan bila ada penurunan harga maka dizakati nilai barang yang ada sesuai harga yang ada tersebut.[15]

Demikian beberapa masalah seputar perhitungan Haul dalam zakat semoga bermanfaat dan bisa menjadi pencerahan kepada para wajib zakat dan amilnya.
Wabillahittaufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Shahih Fikih Sunnah 2/11-12
[2]. HR al-baihaqi 4/108 dengan sanad yang shahih lihat al-Irwa’ al-Ghalil 3/252.
[3]. Asy-Syarhul Mumti’, 6/21 dan al-Mulakhashul Fiqhi 1/223)
[4]. (Lihat Hasyiyah ibnu Qaasim atas ar-raudh al-Murbi’ 2/168).
[5]. Lihat tambahan contoh pada asy-Syarhul Mumti’ 5/21
[6]. Lihat al-Mughni 4/73
[7]. Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi 2/224
[8]. Lihat al-Mulakhash al-Fiqh 2/224
[9]. Lihat al-Mughni 4/238-244.
[10]. Mukhtashar al-Khirâqi yang dicetak bersama al-Mughni 4/238
[11]. Sebagaimana dirâjihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ 6/43
[12]. Al-Mughni 4/135.
[13]. Al-Mukhtârât al-Jaliyah minal Masâ’il al-Fiqhiyah, hlm. 76-77
[14]. Lihat Majmû’ Fatâwa Wa Rasâ’il Ibnu Utsaimin 18/51.
[15]. Lihat Majmû’ al-Fatâwâ Syaikh bin Bâz -12/50 dan asy-Syarhul Mumti’ 6/33-39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar